Cerpen : Rain

RAIN

Girl, anime, outdoor, rain, cityscape, original wallpaper

Hujan masih turun. Membasahi jalan dan membuat beberapa genangan air. Aku mengulurkan tangan keluar jendela. Membiarkan air hujan membasahi telapak tangan ku.  Sebuah lengkungan tipis tercetak di bibirku. Di seberang sana ada induk kucing yang sedang menjilati bulu anaknya yang basah.

Bukankah itu sangat menggemaskan?

Seseorang menepuk pundaku. Aku menoleh. “Apa yang kamu lihat?” Aku menggeleng dan menutup jendela. Sudah malam. Saatnya tempat ini ditutup.

Aku berlari kecil menuju halte bus. Hujan kini berganti gerimis. Aku lupa membawa payung. Padahal, aku tahu ini musim penghujan.

Ku lihat jam tangan yang melingkar di tanganku. Jam menunjukan sudah pukul sembilan malam. Ah, bus terakhir sudah lewat satu jam yang lalu.

Aku menghela nafas kasar lalu berjalan pulang. Langit menangis kembali. Membasahi pepohonan dan juga jalanan. Aku menatap ke langit. Ingin mengumpat tapi tidak ada gunanya. Aku terkejut saat sebuah payung menghalangi air hujan yang sebelumnya membashi ku. Kepala ku menoleh lalu mendapati rekan kerjaku, Davka yang sedang tersenyum manis.

“Ayo, aku antar pulang. Kita searah kan?” Perlahan aku menganggukan kepala ku. Dia berdiri disebelah ku lalu mulai berjalan perlahan. Aku mengimbangi langkah kaki nya.

Kami sama-sama terdiam. Sampai Davka membuka percakapan. “Hobi banget berdiri di bawah hujan. Kalo kamu sakit kerjaan ku makin banyak.”

Aku tertawa pelan. Menganggukan kepala perlahan. “Iya-iya, aku usahain gak sakit kok,” ujarku. Hanya sampai disitu percakapan kami. Sisanya hanya keheningan yang menyelimuti kami hingga aku sampai di depan rumah ku.

“Makasih ya udah nganterin sampai rumah. Maaf ngerepotin kamu.” Kataku sambil menatapnya.

Davka menampilkan senyum manisnya. “Santai aja. Lagian kan deket. Aku pulang dulu ya, selamat malam Jade.”

Aku melihat punggung Davka yang semakin mengecil karena jarak. Saat dia sudah menghilang dari pandangan ku aku memasuki rumah. Hanya rumah kecil dengan satu kamar, tapi cukup nyaman.

Lampu ku nyalakan. Aku bergegas mandi lalu membereskan rumah sebentar. Setelah itu berbaring di kasur dan memejamkan mata. Menyelami alam mimpi. Selamat tidur semoga mimpi indah.

Pagi ini hujan kembali turun. Aku memejamkan mataku dengan erat. Berharap dapat tidur kembali. Namun tidak bisa.

Aku memilih bangun lalu membuat sarapan. Hanya sepotong roti dan secangkir susu hangat. Memakannya dengan santai sambil menonton acara televisi.

Selesai sarapan aku membuka jendela kamar. Menatap pepohonan yang basah karena hujan sejak semalam.

Tidak terasa kenangan itu kembali terputar. Sesaat menyenangkan dan menyedihkan menjadi satu. Terlalu menyakitkan untuk diingat. Namun, terlalu indah untuk di lupakan.

Ketika dirinya masih berada di pelukanku. Menari bersama di bawah derasnya hujan. Tertawa bersama sambil bermain hujan. Semuanya begitu indah. Sampai aku sadar, dia bukan lagi milikku.

Tanpa terasa air mata ku menetes. Rasa sesak dan menyesal menjadi satu. Tuhan, seandainya saja aku dapat memutar balikan waktu. Aku berharap bisa memperbaiki kesalahan ku.

Ku usap air mata ku lalu menutup jendela. Berjalan kearah wastafel. Mencuci muka ku yang sedikit sembab. Ku tatap cermin lalu tersenyum. “Kamu bisa melaluinya, Jade.” Ujarku meyakinkan diri sendiri.

Kuraih tas dan ponsel ku, lalu berangkat menuju tempat kerja. Hujan masih terus menyapa. Suatu keajabian aku mau membawa payung hari ini. Mungkin karena aku tidak ingin datang ke tempat kerja dengan keadaan basah kuyup.

Davka sudah sampai terlebih dahulu. Dia sedang membersihkan meja. Aku tersenyum tipis lalu masuk kedalam cafe. Payung kuletakan di tempatnya.

“Pagi sekali datangnya.” Kata ku.

Dia menoleh sambil tersenyum, dan menghentikan aktivitasnya. “Biar kerjaan mu gak terlalu berat.” Aku tertawa menanggapi ucapannya.

Cafe cukup ramai hari ini. Walaupun mereka hanya memesan secangkir kopi hangat atau coklat hangat karena diluar hujan deras. Sekedar menumpang berteduh atau hanya menghangatkan badan.

Tanpa dirasa hari sudah mulai larut malam. Tapi langit masih melanjutkan tangisannya. Aku menatap sekilas kearah luar jendela. Orang-orang memakai payung untuk melindungi dirinya dari hujan.

Aku menoleh ke sekeliling. Sudah tidak ada orang. Hening menyelimuti ruangan ini. Aku duduk sambil menatap keluar. Sampai seseorang mencuri pandangan ku. Membuat sesak dan udara semakin dingin.

Dia yang sedang  tertawa dengan orang lain.

Aku mengalihkan pandangan. Berusaha untuk tidak menangis. Berusaha menahan semua rasa pedih itu.

Tenanglah, ini pasti berlalu. Asal dia bahagia aku tidak masalah.

Davka sedang membersihkan meja. Aku mendekatinya lalu menepuk pundak pemuda yang lebih tua dua tahun dariku.

Dia menoleh. Lalu berkata, “ya?”

“Boleh aku pulang duluan?” Kulihat Davka mengangguk.

Sure, why not? Hati-hati di jalan Jade.” Ujarnya yang ku balas anggukan dan senyuman.

Halte bus kini sepi. Jam pulang kerja sudah lewat lebih dari tiga jam yang lalu. Rumahku memang tidak jauh dari sini. Hanya saja aku ingin menikmati suasana setelah hujan.

Gemuruh langit masih menemani gelapnya malam. Hembusan angin membuatku menggosokkan tangan. Berharap bisa lebih hangat. Ah, harusnya aku membawa mantel. Dan bodohnya aku melupakan payungku di cafe.

Cafe memang tidak jauh tapi hanya terlalu malas untuk kembali.

Aku mulai berjalan pulang. Bus terakhir terlewatkan karena aku melamun. Sungguh bodoh.

Gerimis, entah kenapa aku tidak berhenti untuk berteduh. Aku melanjutkan berjalan sampai hujan turun dengan derasnya. Aku berharap rasa sakit dan sesak ini mengalir bersama hujan.

Tidak terasa, aku menangis di tengah hujan ini. Sekali ini saja, biarkan aku menangis. Biarkan seluruh luka dan penyesalan dalam diriku larut dalam derasnya hujan.

Aku memeluk diriku sendiri disaat dingin menusuk hingga kedalam tulang. Suara tangisku tercekat di tenggorokan. Aku ingin berteriak, memaki langit. Tapi semua itu tertahan di tenggorokan. Semuanya tertahan hingga dadaku pun ikut merasa sesak.

Trotoar ini, aku berjongkok. Menangis dan menangis. Menyalahkan kebodohan diriku. Seandainya saja aku tidak menghancurkan kepercayaannya, mungkin saat ini dia masih ada disini. Berjalan bersamaku di bawah derasnya air hujan. Saling tersenyum satu sama lain.

Aku terbangun. Ruangan yang asing. Ini bukan kamar ku. Bau ini seperti bau rumah sakit. Aku menoleh. Menatap infus yang melekat di tangan ku. Mata ku mengerjap beberapa kali. Memfokuskan pandangan.

Tepat saat itu Davka masuk. Menghampiriku yang tengah terbaring. Dia mengusap lembut kepalaku. Aku menatapnya penuh pertanyaan. Seolah dia tahu aku bertanya. Davka menjawabnya dengan senyuman, “kamu kekurangan cairan, telat makan, kedinginan.”

Aku menganggukan kepala. Memejamkan mata ku. Kudengar suster datang membawa makanan. Hanya bubur saja. Davka membantuku duduk. Lalu menyuapiku dengan hati-hati.

Baru beberapa suap. Tapi aku merasa sudah kenyang. Aku menggelengkan kepala. “Sudah, aku sudah kenyang.”

Davka berhenti menyuapi. Ia menatapku. “Yakin udah? Kamu baru makan sedikit loh.”

“Iya Davka. Aku udah kenyang.”

“Yaudah iya,” ujarnya sambil menaruh buburnya diatas nakas.

Kurang lebih tiga hari aku dirawat. Dan selama itu pula hanya Davka yang bolak-balik ke rumah sakit.

Hari ini aku pulang, Davka membantu ku untuk membereskan pakaian. Ia mengantar ku sampai rumah. Untungnya rumah tidak terlalu berantakan. Hanya sedikit kotor karena ku tinggal beberapa hari.

Seminggu setelah pulang dari rumah sakit aku kembali bekerja di cafe. Aku sangat merindukan aroma americano di pagi hari. Davka sering mengantarkan ku pulang. Alasannya supaya aku tidak main hujan lagi.

Dan hari ini cafe ditutup lebih awal. Aku dan Davka berencana berjalan-jalan di alun-alun. Refreshing katanya.

Lagi, hujan turun. Jalanan basah, genangan air di mana-mana.

Aku berdiri di depan sebuah toko, menunggu Davka yang pergi entah kemana. Sambil menggenggam sekaleng coklat hangat. Seseorang menepuk pundak ku dan aku menoleh. Dia Davka.

“Tumben berteduh? Biasanya tidak.” Kami terdiam sejenak.  “Hujan bisa semenyakitkan itu,” ujarku lirih.

Dia tertawa kecil sambil mengangguk. “Baru sadar?” Aku cemberut. Lalu dia melanjutkan perkataannya. “Sudah mengikhlaskannya?”

Aku menggeleng lalu tersenyum miris. “Bukan tidak ikhlas,” aku termenung.

“Lalu?” tanyanya.

Aku bukan tidak mengikhlaskannya. Tetapi, ikhlas itu bohong, yang benar terbiasa karena terpaksa. Dan itu yang kualami saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

20 − twenty =