Diskusi Rutin Terbuka (DIRUTE) Air Rob Demak: Antara Bencana Ekologis dan Ketimbang Kebijakan HIMA AKSI 2024/2025

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, pada tanggal 2 Agustus 2025 telah terlaksana kegiatan Diskusi Rutin Terbuka (DIRUTE) yang diselenggarakan secara daring bersama seluruh anggota HIMA AKSI dan mahasiswa umum. Tema diskusi kali ini mengangkat isu besar terkait fenomena rob di wilayah pesisir Demak yang hingga kini masih menjadi tantangan serius bagi masyarakat, pemerintah, dan lingkungan.

Hasil Diskusi

Fenomena banjir rob di Sayung telah berlangsung bertahun-tahun, bahkan disebut sejak sekitar tahun 2001 dan kini menjadi semacam “tradisi” tahunan yang terus menghantui kehidupan warga pesisir Demak. Dari sisi geohidrologi, penyebab alami yang diperparah oleh perubahan iklim mutlak diperhitungkan, seperti kenaikan muka air laut secara bertahap serta penurunan muka tanah akibat ekstraksi air tanah dan abrasi. Faktor-faktor inilah yang menjadi pemicu utama meluasnya rob ke permukiman dan akses jalan. Pemerintah Kabupaten Demak sendiri telah mengajukan proposal besar kepada Bappenas untuk pembangunan tanggul laut sistem polder di Sayung dengan estimasi anggaran Rp 1,7 triliun. Detail Engineering Design (DED) telah dimulai sejak 2024 dan kini masuk daftar prioritas provinsi. Selain itu, Pemkab Demak juga menyiapkan solusi adaptasi jangka panjang berupa rumah apung dan rumah amfibi yang ditetapkan sebagai pilot project dengan estimasi daya tahan 25 tahun, serta membuka ruang kolaborasi riset bersama akademisi.

Dari sisi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan nasional, dilakukan pendekatan bertahap dan multi-lapis. Salah satunya pembangunan tanggul laut atau giant sea wall yang terintegrasi dengan proyek Tol Semarang–Demak. Meski belum operasional penuh, tanggul ini ditargetkan mulai berfungsi pada Januari 2026 dan diharapkan dapat menahan rob secara nyata. Dukungan teknis hadir melalui kolam retensi Sriwulan (36 ha, menampung 1,7 juta liter) dan Terboyo (306 ha, menampung 6,1 juta liter). Selain itu, pemerintah juga melakukan pompanisasi di 22 desa terdampak, pengerukan sedimentasi Sungai Dombo sepanjang 400 meter, pemasangan parapet di jalan nasional, penyediaan transportasi alternatif bagi pelajar, serta penanaman mangrove sebagai penahan alami sekaligus perbaikan ekosistem pesisir.

Secara alami, ruang hidup pesisir Demak memang terus ditekan oleh abrasi, penurunan tanah, sedimentasi sungai, dan kenaikan muka air laut. Oleh karena itu, tanpa tindakan struktural dan sistemik, genangan rob akan sulit surut. Pemerintah daerah dan provinsi merespons dengan pendekatan multi-dimensi: mulai dari rumah apung, kolam retensi, normalisasi sungai, pompa darurat, hingga proyek tanggul laut raksasa. Namun, efektivitas keseluruhan strategi sangat bergantung pada sinergi kebijakan lintas pusat–provinsi–kabupaten dan partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga lingkungan. Tanpa keselarasan itu, rob berpotensi terus berulang meski proyek-proyek besar sudah dijalankan.

Melalui diskusi ini, dapat dipahami bahwa rob di Demak bukan sekadar genangan, melainkan pertemuan keras antara alam yang berubah dan kebijakan yang berpacu dengan waktu. Dari abrasi hingga tanggul laut, dari pompa darurat hingga rumah apung, perjuangan masih terus berjalan. Semoga langkah-langkah yang ada hari ini menjadi penahan gelombang di masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 × 2 =